Problematika mengenai tenaga kerja
kontrak memang cukup bervariasi, hal ini dikarenakan penggunaan tenaga kerja
kontrak dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi
kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi
yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang perlindungan terhadap
tenaga kerja kontrak yang telah berjalan tersebut. Salah satu permasalahan
hukum yang terkait dengan penerapan tenaga kerja kontrak di Indonesia adalah
bagaimana hubungan hukum antara karyawan kontrak atau karyawan outsourcing dan
perusahaan pengguna jasa tenaga kerja, kemudian bagaimana mekanisme
penyelesaian sengketa bila ada karyawan kontrak atau outsourcing yang melanggar
aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja.
Apabila ditinjau dari terminologi
hakikat pelaksanaan peraturan perusahaan, maka peraturan perusahaan dari
perusahaan pengguna jasa tenaga kerja hanya dapat diterapkan terhadap tenaga
kerja kontrak yang langsung melakukan kontrak kerja dengan perusahaan pengguna
tenaga kerja, akan tetapi tidak dapat
diterapkan untuk karyawan outsourcing karena tidak adanya hubungan kerja.
Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing atau perusahan
penyedia jasa tenaga kerja, sehingga seharusnya karyawan outsourcing
menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan
pengguna jasa pekerja.
Namun, mengingat karyawan
outsourcing ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentu sudah
sewajarnya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan
yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing, agar hubungan kerja yang
harmonis dan dinamis dalam suatu perusahaan tetap terjaga. Meskipun, apabila
terjadi perselisihan perburuhan penyelesaiannya adalah antara karyawan
outsourcing dengan perusahaan outsourcing, sebagaimana dimaksud pasal 66 ayat
(2) huruf c UU No.13 Tahun 2003.
Karenanya, perusahaan outsourcing
harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir
kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa tenaga kerja, mengingat
perusahaan pengguna jasa tenaga kerja sebenarnya adalah pihak yang lebih
mengetahui keseharian performa karyawan, dari pada perusahaan outsourcing itu
sendiri.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi
trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai.
Karenanya sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat
termuat dalam peraturan daerah yang sedang dipersiapkan, sehingga dapat
mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja. Dalam
kaitannya pembuatan Peraturan Daerah Kota Cilegon, kiranya perlu diketahui
beberapa issue ketenagakerjaan mengenai pekerja kontrak atau outsourching di
Indonesia.
Dalam iklim persaingan usaha yang
makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost
of production), dimana salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing.
Dalam sistem ini perusahaan dapat
menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan, karena adanya pendelegasian beberapa proses
bisnis kepada suatu badan penyedia jasa tenaga kerja, dimana badan penyedia
jasa tersebut yang melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan
definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.
Masalah perlindungan tenaga
kerja dalam pelaksanaannya masih
jauh dari harapan. Kenyataan tersebut
terjadi karena berbagai pemikiran inovatif yang muncul, baik dalam bentuk
spesialisasi produk, efisiensi dan lain-lain. Untuk memperoleh keunggulan
kompetitif, ada dua hal yang dilakukan oleh pengusaha berkaitan dengan
ketenagakerjaan, yakni melakukan hubungan kerja dengan pekerja melalui
perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) dan melakukan outsourcing.
Buruh outsourcing merupakan pihak
yang paling dirugikan dalam suatu
perjanjian kerja, karena apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh
perusahaan, maka buruh outsourcing tidak
mendapatkan hak-hak normatif sebagaimana layaknya tenaga kerja atau buruh biasa, walaupun masa kerja sudah
bertahun-tahun. Masa kerja buruh outsourcing tidak merupakan faktor penentu,
karena tiap tahun kontrak kerjasama dapat diperbarui, sehingga masa pengabdian
dimulai lagi dari awal saat terjadi
kesepakatan kontrak kerja antara perusahaan dengan buruh. Hak lainnya seperti, pesangon yang diatur
dalam Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UMPK
(Pasal 156 ayat (3)), uang pengganti perumahan dan pengobatan (Pasal 156 ayat
(4)) dan uang pengganti cuti tahunan yang bersangkutan saat penghentian
hubungan kerja, serta uang gaji yang dihitung sejak diberhentikan, merupakan
bukan hak dari buruh outsourcing.
Perusahaan selain menggunakan sistem
kontrak dalam waktu tertentu dengan masa
cobaan kerja tiga bulan pada buruhnya, perusahaan juga menggunakan sistem kerja
borongan. Sistem kerja borongan dipergunakan oleh perusahaan untuk mengimbangi pesanan
konsumen dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah yang banyak. Perjanjian kerja antara buruh dengan
perusahaan sering menggunakan sistem perjanjian kerja dalam waktu tertentu
berdasarkan lama waktu dan selesainya suatu pekerjaan yang disebut dengan buruh
outsourcing. Para buruh outsourcing dengan menggunakan perjanjian waktu
tertentu telah merugikan buruh. Dalam hal gaji, buruh hanya memperoleh gaji
pokok dan uang makan yang besarnya minim. Para buruh outsourcing tidak memperoleh tunjangan kesejahteraan
dan kesehatan. Selain itu, buruh
outsourcing juga terancam PHK secara sepihak dari perusahaan. Dengan
demikian, buruh harus menerima perlakuan tersebut, karena begitu sulitnya untuk
mencari pekerjaan. Kontrak kerja dengan
masa percobaan yang dilakukan oleh perusahaan, secara langsung menguntungkan
perusahaan, karena perusahaan tidak akan menambah upah buruh berdasarkan lama
kerja. Perusahaan hanya membayar upah buruh dengan masa percobaan dan lamanya
pekerjaan dapat diselesaikan oleh buruh. Selain itu, buruh yang terikat
perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan sosial
buruh (JAMSOSTEK), karena masih dalam masa percobaan.
Keadaan buruh yang demikian, penting
diperhatikan untuk mendapat perlindungan hukum. Perlindungan hukum untuk
buruh outsourcing dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan mengeluarkan kebijakkan-kebijakkan yang mengatur
perlindungan hukum bagi buruh, sehingga perusahaan akan lebih memperhatikan
kesejahteraan buruh.
Selain itu ada beberapa alasan yang
menjadi latar belakang dibuatnya Peraturan Daerah Kota Cilegon tentang
Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Kontrak, antara lain sebagai berikut :
·
Perusahaan
Outsourcing banyak mengambil keuntungan dari Pekerja
Pada
kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh pekerja
dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan
perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak pekerja
outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua perusahaan tersebut
tanpa diketahui oleh pekerja. Oleh karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan
adalah dengan mempekerjakan pekerja untuk kepentingan perusahaan lain, maka
dari jasa tersebut perusahaan pemberi kerja memperoleh keuntungan. Keuntungan perusahaan
penyedia jasa tersebut diperoleh dari selisih antara upah yang diberikan
perusahaan pengguna dengan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja
outsourcing. Oleh karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing
biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah
minimum.
·
Tidak
ada peluang peningkatan status dan karier bagi pekerja kontrak/pekerja
outsourcing
Secara
sistem akan mematikan karier artinya seorang tenaga outsource yang pekerjaannya
adalah untuk melaksanakan pekerjaan cleaning service, maka secara sistem tidak
akan mungkin ada kenaikan pangkat seperti halnya yang terjadi pada Pekerja
tetap.
·
Tidak
ada serikat pekerja tenaga kerja kontrak
Secara
umum tidak adanya serikat pekerja tenaga kerja kontrak disebabkan karena status
hubungan kerja yang nonpermanen. Menjadi anggota serikat dalam hubungan kerja
fleksibel bukan sebuah pilihan bagi Pekerja karena kekhawatiran kehilangan
pekerjaan (karena berstatus outsourcing, takut di PHK, takut tidak diperpanjang
kontrak, dan jug adanya pelarangan dari Perusahaan).
·
Banyaknya
tenaga outsourcing dipekerjakan di core business (pekerjaan inti)
Demi
mengurangi biaya produksi biasanya perusahaan mempekerjakan para pekerja yang
melakukan aktivitas pekerjaan utama melalui sistem outsourcing.
·
Banyak
perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum
Apabila
perusahaan outsourcing berbadan hukum otomatis hak – hak pekrja outsourcing
akan terjaga sehingga memiliki kepastian hukum.
·
Tidak
ada ketentuan mengenai pesangon
Seseorang
yang dikontrak biasanya beban kerjanya hampir sama atau bahkan lebih berat dari
pada pegawai tetap, namun dari segi gaji atau fasilitas lainnya tentu saja
sangat berbeda. Termasuk tidak adanya ketentuan pesangon yang jelas apabila
perusahaan tidak lagi menggunakan jasa si tenaga kerja kontrak terlebih lagi
tidak adanya perlindungan hukum bagi karyawan kontrak yang akan menuntut haknya
di pengadilan.
·
Tidak
ada sanksi yang tegas terhadap perusahaan outsourcing atau perusahaan pengguna
apabila mereka melanggar ketentuan Ketenagakerjaan
Pekerja
cenderung selalu dirugikan akibat praktek outsourcing dalam penyelenggaraan
hubungan kerja karena pekerja cenderung dituntut untuk menampilkan pekerjaan
maksimal dengan imbalan yang serendah – rendahnya tanpa adanya perlindungan
hukum.
·
Isi
perjanjian banyak merugikan pekerja
Perlidungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima
pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi
kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di
perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya
bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama,sehingga tidak ada lagi syarat
kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah
·
Fungsi
pengawasan Disnaker terhadap pelanggaran ketenagakerjaan sangat lemah
Disnaker
sebagai instansi yang berwenang melaksanakan pengawasan serta penindakan atas
setiap pelanggaran peraturan ketenagakerjaan baik yang dilakukan pengusaha
maupun pekerja belum menjalankan dengan tegas terutama masih ada keberpihakan
terhadap pengusaha dan cenderung tidak berlaku adil mengenai pemenuhan hak –
hak pekerja.
·
Upaya
Perusahaan mensiasati agar Karyawan kontrak tidak menjadi karyawan tetap
Untuk
menghindari hak – hak normative yang harus dibayarkan perusahaan kepada
pekerja, maka seringkali Perusahaan terus memperpanjang kontrak pekerja dengan
adanya jeda waktu agar status pekerja tidak beralih menjadi karyawan tetap.
·
Diskriminasi
upah
Pekerja
kontrak dan pekerja outsourcing yang melakukan jenis pekerjaan yang sama dengan
pekerja tetap mendapatkan upah yang berbeda, dan upahnya lebih rendah dari
pekerja tetap.
·
Banyak
terjadi masa perpanjangan kontrak kerja dilakukan lebih dari dua kali
Masa
perpanjangan kontrak pekerja yang seharusnya dapat dilakukan maksimal 2 (dua)
kali pada kenyataannya sering dilanggar Perusahaan dengan memperpanjang kontrak
kerja lebih dari 2 (dua) kali.